Iklim persaingan usaha di RI lebih buruk dibanding negara tetangga

Wednesday, 10 August 2016

Iklim persaingan usaha di RI lebih buruk dibanding negara tetangga

Iklim persaingan usaha di RI lebih buruk dibanding negara tetangga
KPPU. ©2016 Lintastoday
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meluncurkan indeks persaingan usaha dengan skala 0 - 1. Dalam indeks tersebut, persaingan usaha di Indonesia berada di level 0,5.

Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, level tersebut menunjukan jika persaingan usaha di Tanah Air masih rendah dibanding negara tetangga yang berada di atas level 0,5.

"Kita masih di bawah 0,5 yang artinya masih relatif rendah. Masih kalah dengan banyak negara tetangga yang sudah berada di level 0,6," kata Syarkawi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (10/8).

Dalam indeks ini, ada tiga sektor yang mendapat penilaian buruk. Yakni sektor manufaktur, perbankan dan regulasi.

Syarkawi menyebut jika iklim persaingan usaha industri manufaktur masih kurang sehat. Alasannya, pemain di sektor manufaktur tidak pernah berubah.

"Model bisnis manufaktur di Indonesia rata-rata menerapkan model terintegrasi dari hulu ke hilir. Dengan model terintegarasi itu, maka ada semacam dominasi pasar oleh para pemain besar," tuturnya.

Syarkawi mengatakan, kondisi tersebut justru berbanding terbalik dengan Jepang. Di negeri sakura, perusahaan raksasa pada sektor manufaktur justru menjalin kerja sama dengan produsen kecil dalam hal mensuplai komponen-komponen mesin.

"Model integrasi bisnis dari hulu ke hilir ini tidak bagus," ungkapnya.

Selain itu, persaingan pada sektor perbankan juga dinilai sama seperti manufaktur. "Saat ini ada beberapa bank yang menguasai 30-40 persen aset perbankan secara nasional," imbuhnya.

Sementara itu dari sisi regulasi, kata Syarkawi, masih banyak regulasi yang menghambat adanya persaingan. Sebagai contoh, terjadi pada proses lelang proyek di pemerintah daerah seperti proyek perbaikan jalan.

Dirinya menjelaskan, tidak sedikit pemerintah daerah yang mewajibkan kontraktor untuk memiliki asphalt mixing plant atau alat pencampur aspal jika mau mengikuti tender. Padahal, alat-alat tersebut hanya dimiliki oleh pemain besar saja.

"Sehingga, yang dapat proyek ya kelompok yang itu-itu saja," pungkasnya.

Apa komentar dan tanggapan Anda dari berita di atas?

Emoticon

© Copyright 2012-2016 LINTASTODAY. All rights reserved