Kejagung sebut eksekusi mati Osmane dan Ejike tak langgar UU Grasi

Friday, 12 August 2016

Kejagung sebut eksekusi mati Osmane dan Ejike tak langgar UU Grasi

Kejagung sebut eksekusi mati Osmane dan Ejike tak langgar UU Grasi
Jaksa Agung HM Prasetyo di Kejari Kediri. ©2016 Lintastoday
Kejaksaan Agung menyatakan eksekusi mati terhadap terpidana Seck Osmane dan Humprey Ejike tidak melanggar Undang-Undang Grasi atau telah sesuai dengan ketentuan.

"Kalaupun ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) tentang peniadaan batas waktu pengajuan grasi, putusan ini tidak berlaku surut," kata Jaksa Agung HM Prasetyo di kantornya, Jumat (12/8).

Pemohon dan pemegang putusan judicial review Undang-Undang (UU) Grasi, Boyamin Saiman menagih janji Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM Was) yang akan menindaklanjuti laporan ilegalnya eksekusi mati pada Seck Osmane dan Humprey Ejike.

Kedua terpidana yang sudah dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, tengah mengajukan permohonan grasi ke Presiden. Bahkan Boyamin Saiman telah melaporkan kasus itu kepada Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) dan Komnas HAM. Serta tidak tertutup kemungkinan akan melaporkan ke Mahkamah Internasional.

Prasetyo menambahkan berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 5 tahun 2010, batas waktu pengajuan grasi sendiri adalah satu tahun. Sedangkan, kata dia, dua terpidana mati itu mengajukan di saat-saat terakhir eksekusi mati akan dilaksanakan.

"Saya sampaikan, bahwa kalaupun betul mengajukan grasi, itu di saat-saat terakhir, detik-detik terakhir eksekusi mati dilaksanakan," ucapnya seperti dikutip Antara.

"Semua yang dilaksanakan adalah dengan pertimbangan yuridis yang sudah jelas. Tidak ada satu pun kita melaksanakan sesuatu yang kita lakukan tidak melalui pertimbangan yang matang," ujarnya.

Jadi sekali lagi ia katakan kalau ada pengajuan grasi itu di detik-detik terakhir. Sebelumnya yang bersangkutan juga sudah membuat pernyataan tidak akan mengajukan grasi. Jadi jangan disalah-salahkan, katanya, menegaskan.

Selain itu putusan MK juga tidak berlaku surut alias berlaku ke muka, ujarnya.

Sementara itu, Boyamin berpijak pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII-XVI/2015 tertanggal 15 Juni 2016, maka bagi siapa pun terpidana mati dapat mengajukan grasi tanpa dibatasi waktu.

Ditegaskan pula dalam putusan itu, bahwa eksekusi mati tidak boleh dijalankan apabila terpidana mati mengajukan grasi dan belum dapat penolakan dari presiden.

Jika mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 22 tahun 2002 Grasi menyebutkan, "Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana".

Dalam Pasal 3 UU Grasi juga menyebutkan "Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati".

"Fakta yang ditemukan oleh kami, Seck Osmane mengajukan grasi itu pada 27 Juli 2016 dan Humprey Ejike pada 25 Juli 2016. Bahkan permohonan grasi itu juga sudah masuk di Mahkamah Agung (MA)," tegasnya.

"Putusannya sendiri belum ada apakah permohonan grasinya diterima atau tidak diterima oleh presiden, tapi eksekusi mati telah dilaksanakan. Ini jelas-jelas sudah melanggar HAM yakni penghilangan nyawa seseorang secara paksa atau tanpa ada kepastian hukum," katanya.

Apa komentar dan tanggapan Anda dari berita di atas?

Emoticon

© Copyright 2012-2016 LINTASTODAY. All rights reserved