DN Aidit. ©istimewa
Salah satu karya seni lukisan yang ditampilkan di area boarding Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta mendadak jadi perbincangan publik. Bukan karena kreativitasnya menggabungkan ratusan wajah tokoh nasional di dalamnya, melainkan munculnya sosok Dipa Nusantara Aidit.Ya, tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) itu merupakan satu dari sekian banyak sosok nasional lainnya. Tak hanya Aidit, sang pelukis juga tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Abdul Kahar Muzakkar.
Lukisan tersebut diberi Seri Ilusi #The Indonesia Idea (.ID), dan merupakan karya seniman Galam Zulkifli. Setelah ramai jadi perbincangan, lukisan itupun langsung dicopot oleh PT Angkasa Pura II selaku pengelola bandara.
Siapa Aidit hingga bikin rakyat alergi mendengar sosoknya?
Aidit dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung pada 30 Juli 1923 lalu. Oleh teman-temannya dia dipanggil dengan nama 'Amat'. Semasa kecil, dia dididik dengan pendidikan Belanda, meski begitu ayahnya, Abdullah Aidit, terlibat aktif dalam perjuangan melawan pemerintahan kolonial.
Abdullah juga pernah mendirikan perkumpulan keagamaan bernama 'Nurul Islam', yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Jelang dewasa, Aidit memutuskan mengganti namanya dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit, perubahan itu pun mendapat persetujuan dari sang ayah.
Saat usianya mulai matang, Aidit memutuskan untuk mengadu nasib di Jakarta. Di tempat ini, dia mendirikan perpustakaan dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dagang. Di sinilah dia mulai bersentuhan dengan kaum komunis, dimulai dengan mempelajari teori politik Marxis dari Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda, kelak berganti nama menjadi PKI.
Sejak itu, dia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.
Dukungannya terhadap paham Marhaenisme membuat PKI dipercaya Bung Karno, sehingga dibiarkan berkembang. Sebagai balasannya, dia diangkat menjadi Sekjen PKI dan terakhir menjadi Ketua Komite Pusat.
Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRC. Tak hanya itu, demi memperkuat basis partainya, dia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Berkat kerja kerasnya itu, Aidit berhasil membawa PKI menjadi partai dengan suara terbanyak keempat pada Pemilu 1955. PKI berhasil memperoleh 16,36 suara, dan mendapatkan 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante.
Sejak menjadi salah satu partai politik terbesar di Indonesia, PKI mulai berani mempengaruhi Soekarno dalam setiap kebijakannya. Salah satunya meminta Bung Karno untuk memberangus Partai Masyumi, dan yang paling termasyur menuduh para jenderal TNI AD merencanakan upaya kudeta dengan membentuk Dewan Jenderal.
Tentunya Dewan Jenderal itu adalah rekaan, baik Jenderal Ahmad Yani dan rekan-rekannya tak pernah mendirikan organisasi itu. Soeharto dalam sebuah video pengakuannya malah meyakini Dewan Jenderal yang dimaksud Aidit adalah Wanjakti, alias Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti).
Puncaknya terjadi pada 30 September 1965. Sekelompok prajurit di bawah kepemimpinan Letkol Untung menyerbu rumah para jenderal yang mereka tuduh akan bertindak makar terhadap Soekarno, tujuh jenderal dibunuh dengan sadis, termasuk seorang perwira menengah TNI AD dan polisi. Mayatnya dibuang ke dalam sumur di Lubang Buaya.
Keesokan paginya, mereka merebut Radio Republik Indonesia (RRI) dan menyebarkan pelbagai propaganda. Namun tak sampai sehari, stasiun radio pelat merah itu berhasil direbut kembali oleh Kostrad.
Dalam lima hari, pemberontakan berhasil diredam. Di bawah perintah Mayjen Soeharto, sisa-sisa pemberontak diburu ke seluruh penjuru, termasuk Aidit yang diduga otak Gerakan 30 September atau disingkat G30S.
Setelah menghilang, akhirnya keberadaannya terdeteksi oleh sepasukan TNI AD. Ada pelbagai versi tentang kematiannya, versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Dia dibawa ke sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ.
Aidit diberikan waktu setengah jam sebelum 'diberesi'. Waktu tersebut digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api hingga membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga tidak dapat mengendalikan emosi.
Akibatnya, senjata mereka menyalak dan menembaknya hingga mati. versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
Sejak itu, nama dan sosoknya seakan-akan menjadi sesuatu yang haram disebutkan di Indonesia.
0 comments:
Apa komentar dan tanggapan Anda dari berita di atas?
Emoticon