TPS di museum juang taruna Tangerang. ©2018 Lintastoday
Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menuai banyak kecaman. Aturan tersebut menjadi dasar lolos tidaknya parpol peserta pemilu 2019 ke DPR.Aturan yang tertuang dalam pasal 414 itu dinilai hanya akan membuat partai politik (parpol) bunuh diri.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini memprediksi, ambang batas parlemen sebesar 4 persen akan membuat perhelatan Pemilu 2019 semakin sengit. Sebab, dengan jumlah ambang batas yang naik hingga empat persen, ada partai politik baru yang memungkinkan merebut suara pemilih partai lama.
"Suara masyarakat akan terdistribusi kepada 16 partai yang lolos verifikasi. Jadi partai di parlemen bisa saja tidak terpilih lagi," kata Titi saat dihubungi, Kamis (30/8).
Titi menjelaskan, ambang batas empat persen membuat satu parpol harus mengumpulkan sebanyak lima juta suara untuk masuk ke palemen. Jumlah itu cukup besar dan akan membuat partai baru bekerja keras memenuhi kuota tersebut.
Adapun partai baru yang lolos di Pemilu 2019 antara lain, Partai Berkarya, Partai Garuda, Partai Solidaritas Indonesia dan Perindo.
Dia juga memprediksi, ambang batas yang tinggi dan jumlah parpol yang bertambah akan membuat banyak suara masyarakat dalam Pemilu 2019 menjadi terbuang.
"Masyarakat sudah memilih, tapi parpolnya tidak lulus ambang batas parlemen. Maka, suara masyarakat menjadi terbuang dan tidak terhitung," imbuhnya.
Sementara Pengamat Hukum dari UI Rahmat Bastian menilai, secara konstitusi, ambang batas parlemen mengebiri aspirasi rakyat.
Sebab, dengan kebijakan itu, jelas memperkecil nilai dan kualitas hak memilih satu pemilih. Hitungannya, 100 persen suara pemilih menjadi tidak bulat. Dan hanya tersisa sekitar 0,4 persen saja.
"Jadi kalau menurut pendapat saya, akibatnya akan ada sekitar 3,99 persen dikali jumlah Parpol yang kalah dikali suara rakyat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) resmi yang hak pilihnya teranulir," kata Rahmat.
Sebagai orang yang memiliki hak pilih, dia berharap, masyarakat kritis terhadap persoalan ini.
"Bayangkan jika setiap satu rakyat memutuskan untuk memperjuangkan hak memilihnya melalui jalur Yudikatif. Khususnya hak memilih yang telah teranulir sendiri, bagaimana?" ujarnya dengan nada tanya.
Dia menegaskan, bahwa konstitusi tidak pernah mengajarkan Republik Indonesia untuk menganulir suara minoritas.
0 comments:
Apa komentar dan tanggapan Anda dari berita di atas?
Emoticon