MA janji rehabilitasi ketua & wakil ketua PN Medan jika tak terbukti langgar etik

MA janji rehabilitasi ketua & wakil ketua PN Medan jika tak terbukti langgar etik

Thursday 30 August 2018

MA janji rehabilitasi ketua & wakil ketua PN Medan jika tak terbukti langgar etik
Gedung Mahkamah Agung. ©mahkamahagung.go.id
Badan Pengawas Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial belum memutuskan ada tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Medan, Marsuddin Nainggolan dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan Wahyu Prasetyo Wibowo. Keduanya terjaring dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa (28/8).

Juru bicara MA, Suhadi, mengatakan nama keduanya akan direhabilitasi jika tidak ditemukan bukti keterlibatan dalam dugaan penerimaan suap.

"Yang dibawa ke Jakarta, yang diduga terlibat dan dinyatakan tidak cukup bukti, nantinya mereka harus direhabilitasi nama baiknya," ujar Suhadi dalam konferensi pers di Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Kamis (30/8).

Suhadi mengatakan, proses rehabilitasi yang dimaksud adalah memuat pemberitahuan proses promosi terhadap keduanya tetap berlaku, di website Mahkamah Agung. Sebab, surat keputusan promosi kepada Marsuddin dan Wahyu telah diterbitkan. Marsuddin dipromosi menjadi hakim tinggi Denpasar, sedangkan Wahyu dipromosi menjadi Ketua Pengadilan Negeri Serang.

Dia menuturkan, proses itu telah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang rehabilitasi.

"Nanti akan diumumkan bahwa tetap pada posisi seperti itu termasuk rehabilitasi yang diambil MA, kalau sudah melalui proses hukum acara pidana ada tata cara untuk rehabilitasi menurut KUHAP," ujarnya.

Diketahui Marsuddin dan Wahyu turut diamankan KPK atas dugaan penerimaan suap yang menyeret hakim Ad Hoc, Merry Purba dan panitera pengganti Helpandi, swasta Tamin Sukardi dan Hadi Setiawan. Tamin merupakan terdakwa sengketa tanah diduga menyuap hakim SGD 280 ribu melalui Merry. Tujuan suap agar mempengaruhi putusan majelis hakim.

Tamin divonis enam tahun penjara denda Rp 500 juta pada 27 Agustus 2018. Putusan majelis hakim lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut 10 tahun penjara.

Sebagai pihak yang diduga penerima suap, Merry dan Helpandi disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 30 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Tamin dan Hadi disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 hueuf a atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 30 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KOMENTAR. APA KOMENTAR ANDA?

Apa komentar dan tanggapan Anda dari berita di atas?

Emoticon